seeking greener grass

part of my history

Wednesday, February 27, 2002

Perempuan datang atas nama cinta.

Bunda pergi karena cinta.

Atas dirinya...

Digenangi air racun jingga

Adalah...

Wajahmu seperti bulan lelap tidur di hatimu

Yang berdinding kelam dan kedinginan

Ada apa dengannya...

Meninggalkan hati untuk dicaci

Percaya...

Sampai darah ke lututpun aku tak percaya

Lalu...

Rumput tersabit

Sekali ini aku lihat karya surga

Dari mata seorang hawa

Percaya...

Tak tahu...

Ada apa dengan Cinta ?

dan...

Aku akan kembali dalam satu purnama

untuk mempertanyakan kembali cintanya...

Bukan untuknya, bukan untuk siapa

Tapi untukku, karena aku ingin kamu

Itu saja.


(puisi Rangga lagi)

Monday, February 25, 2002

Kulari ke hutan kemudian teriakku

Kulari ke pantai kemudian menyanyiku

Sepi…sepi..dan sendiri aku benci

Aku mau bingar…aku mau di pasar

Bosan aku dengan penat

Dan enyah saja kau pekat

Seperti berjelaga jika kusendiri…

…Pecahkan saja gelasnya biar ramai…

Biar mengaduh sampai gaduh…



Aih…ada malaikat menyulam

Jaring laba laba belang di tembok

Keraton putih

Kenapa tak goyangkan saja…

Loncengnya…

Biar terdera

Atau aku harus lari ke pantai

Belok ke hutan….




-from adaapadengancinta.com



puisinya Rangga di film "Ada Apa Dengan Cinta" buatan Rako Prijianto, emang top. gwe suka banget dan warnanya chairil banget. Cabaukan.com juga patut ditengok, review filmya next time aja klo lagi gak males nulis this blog.

Sunday, February 24, 2002

mmm...pengen ganti layout

Wednesday, February 20, 2002

so many "naskah" to be edit in bumimanusia, and still i had to go to tuk + eki this afternoon for the book launching discussion. i'm calling linda soon to ask whether the books already arrive or not. i still wanna finish my trip journal in yogyakarta. a friend tell me he's drunk and wanna get laid, and another ask me for a dinner this late afternoon. not forgetting my first assignment report for gadis-online. ARGH!!

Friday, February 15, 2002

Catatan Perjalanan dari Mata Ketiga



Sinar matahari membayangi tirai hijau kamar, dia meloncat dari ranjangnya, membuka tirai, membuka jendela, menghirup udara pagi dan merasakan panasnya sinar mentari. Mentari yang sudah lama menghilang dari udara, di jalan-jalan semua orang bersorak gembira seperti melihat dewa, berebut bermandi sinar matahari.



Sudah seminggu lebih sejak ia meninggalkan kota senja, meninggalkan laki-laki itu. Pikirannya lalu melayang pada waktu sebulan yang lalu, sewaktu hari itu dinaikinya angkutan kota berwarna hijau dari kota hujan dengan ransel merah dan tas hitam di tangan.



***



Dee berhenti di antara bis-bis malam yang akan berangkat, menurunkan barang dan memberikan delapan ratus rupiah pada supir angkot. Bis malam itu berwarna putih bersih dengan garis biru tua. Dilihatnya tiket bis dan dia melapor pada petugas pengecek tiket keberangkatan, lalu dicarinya bis yang akan dinaikinya. Bis itu terkunci, penumpang masih sepi, rupanya dia masih terlalu pagi, ditaruhnya tas hitam di sisi dan dia melihat ke bawah jembatan, sungai besar yang berwarna coklat muda. Sebutir kerikil diambilnya, dilemparkan ke bawah, terlintas kata bunuh diri di otaknya dan dia bersandar pada pegangan jembatan yang berwarna kuning pucat, masih melihat ke bawah, pada sungai coklat lalu pada langit yang mendung abu-abu pekat. Lamunannya dibuyarkan oleh kernet bis malam itu, karena hujan mulai rintik-rintik ia dipersilakan masuk naik. Dia duduk di bangku ketiga deretan sebelah kiri, menaruh tas dan merenggangkan kursi. Hujan mulai turun membasahi kaca jendela, jalanan dan manusia-manusia kota.



Ia mengambil sebuah buku dari tasnya, buku fiksi tentang tumbangnya seorang diktator di sebuah negara Amerika Latin. Buku itu sudah dibacanya pada halaman-halaman pertama, dia mulai membacanya lagi sambil sesekali melemparkan pandangan pada tetes hujan di luar jendela bis. Penumpang lain mulai naik, sebagian baju mereka basah, sebagian barang-barang mereka basah, tetapi perpisahan di antara mereka dan keluarga rupanya tidak membuat mata mereka basah. Dia bertanya pada supir bis dimana sekiranya ia bisa turun setibanya di kota senja, supir itu cukup ramah, tetapi lama-lama agak terlalu ramah pikirnya. Dia tak peduli, supir itu seperti seorang ayah, mungkin saja karena dia seorang perempuan muda yang dalam perjalanan sendiri. Hujan semakin kencang, waktu menunjukkan setengah empat sore, para pengantar yang berteduh di dalam bis turun, mereka harus rela basah karena bis ini akan menuju kota senja.



Tol Cikampek, begitulah yang terbaca pada palang jalanan setelah ia terbangun dari tidurnya yang begitu sejenak. Buku itu masih di tangannya, jarinya membatasi sekitar belasan halaman yang terlewati. Sopir yang ramah tadi tertidur di belakang bis, sedangkan yang satunya menyupir dengan hati-hati karena jalanan licin oleh hujan. Mereka menyupir bergantian, kernet membagikan roti pisang dan satu gelas aqua mineral dalam kardus makanan kecil. Perlahan dimakannya roti pisang itu, ada sedikit rasa coklat yang tidak merata. Diamatinya jalan tol itu, hujan sudah berhenti, pemandangan di sisi kirinya cukup memukau, walau cuaca mendung pukul lima sore. Rumput-rumputan yang begitu segar panjang di sepanjang ruas jalan dan juga pepohonan seolah-olah menundukkan diri pada angin yang bertiup terlalu kencang atau badai hujan beberapa waktu lalu. Ada yang menunduk ke arah tenggara, barat atau timur. Dia seperti melihat sebuah ritual alam yang magis. Memasuki pukul enam, hanya kegelapan membayang di jalanan, dia lalu tertidur sampai tiba waktunya makan malam.



Bis itu berhenti dan memarkir di sebuah rumah makan, masakan yang khas Sunda dan tentu saja teh yang tawar. Selesai menyelesaikan makan malamnya, ia berjalan menuju wartel di sebelah rumah makan itu. Ditekannya nomor laki-laki itu, ditunggunya suaranya. “Halo? Dee? Dimana kamu?”, mereka sejenak berbicara dan laki-laki itu berjanji untuk menjemputnya di kota senja waktu subuh pagi, laki-laki itu meminta dibangunkan lewat telefon genggam jika ia sudah mendekati kota Magelang, kota asal laki-laki itu, kota yang terletak di sebelah utara kota senja.



Pukul satu pagi, dia terbangun kembali ketika bis itu berhenti. Dia bertanya-tanya, sudah sampai dimanakah mereka, sudah nyaris sampai Weleri seseorang menjawab. Bis masih berhenti, kernet turun lalu supir bis turun, lalu lintas macet total, mereka terhenti di jalan di tengah-tengah hutan. Pepopohonan di kiri kanan jalanan, gelap, suara jangkrik samar-samar entah jika suara yang lainnya tak begitu terdengar karena suara mesin dan klakson bersilih ganti. Ada yang bilang karena tabrakan, ada yang bilang karena sebuah truk yang mogok, entah mana yang benar. Dia tertidur lagi sesekali bangun untuk melihat waktu, sewaktu subuh tiba sinyal telefon genggamnya lemah sekali, dia tidak bisa menghubungi laki-laki itu. Dia harus menunggu, laki-laki itu juga menunggu. Bis mulai berjalan kembali, dua truk yang bertubrukan sudah teronggok ke pinggir, satu truk yang mogok sudah bisa berjalan kembali, lalu satu bis dan satu truk yang juga mogok bisa menyingkir. Lima jam waktu seperti berhenti di jalanan yang menembus hutan sebelum Weleri.



Laki-laki itu baru bisa dihubunginya setelah ia mendekati Magelang, ternyata laki-laki itu nyaris tidak tertidur semalaman menunggunya. Kota senja menyambutnya pukul sepuluh pagi, setelah turun dekat terminal bis kota senja, ia mencari wartel dan memberitahu laki-laki itu dimana tepatnya dirinya. Ia duduk di bangku depan wartel itu dengan wajah kelelahan, sambil sepasang matanya menatap ke jalanan di depan. Sebuah sedan tua warna kecoklatan nyaris perunggu melewati wartel itu, pertama ia tidak mengacuhkan tetapi sedan itu mundur kembali. Sosok laki-laki itu ada di dalamnya, laki-laki yang sudah tiga ratus lima puluh enam hari lamanya dirindukannya. Mobil itu bekas saudara laki-laki itu, tak heran dia tak mengenalinya setelah mendengar penjelasan laki-laki itu setelah beberapa waktu dari hari itu. Ia tersenyum, lalu tertawa sembari membuka pintu mobil itu, benar-benar laki-laki itu yang sedang duduk pada bangku setir. Ditaruhnya tas hitam dan ransel merahnya di kursi belakang, pintu ditutupnya. Ditatapnya laki-laki itu, ia ingin memeluknya. Laki-laki itu menatapnya dan sekali-kali melihat jalanan, ia mencium leher laki-laki itu, karena untuk memeluknya mereka harus berhenti sejenak. Bau khas laki-laki itu, rambutnya yang masih basah sehabis mandi sedangkan ia belum mandi sejak kemarin sore.



Dee mengambil kunci rumah pada pacar keponakannya. Seselesainya mandi dan menaruh tasnya pada tempatnya, ia kembali ke ruang tamu, tempat di mana laki-laki itu menunggunya. Laki-laki itu masih menatapnya tajam dengan batangan rokoknya yang kedua. “Cium aku…”katanya. Lalu sofa merah dan ranjang tanpa seprai pun jadi saksi bagaimana dua orang manusia melepas rindu.



cont...

Wednesday, February 13, 2002

capek abis, mana sakit, demam + batuk pilek ketularan bokap. 3-4 weeks of crazyness, tired, gue ketik later...