seeking greener grass

part of my history

Friday, December 14, 2001

anggota milis bm yang baik......



lalu keheningan itu berlangsung lama, selama waktu

yang dibutuhkan surat cinta yang kita tanam dalam

botol dan kita lempar ke laut menuju semenanjung di

sebalik tiga pulau.



aku masih membuka kaleng-kaleng minuman itu, dan

hisapanmu atas rokok putih mulai menjamah bungkus

ketiga. ombak di kejauhan sana masih saling berusaha

melepas diri, menuju daratan entah mana......



lampu-lampu jalan mulai menyala, menyebar jala siluet

dalam nyeri pinggir jalan. dan gerimis tetap turun

dalam nada dasar c, cukup ritmis untuk menggamit

asap-asap menuju langit yang belum kunjung memadat.



sebuah lagu kau lantunkan.......



'jika pagar hitam itu tak pernah terbuka, maka dimana

hendak kurebahkan tubuhku dalam ketentraman yang

sempurna.....tubuhmu, tubuhmu, diraba malam,

digelayuti mimpi-mimpiku atasmu....'



kau ulang lagu itu dan kadangkala hanya berhenti pada

'tubuhmu,tubuhmu...'



sesekali dalam kesal yang pekat, kita tendangi

kaleng-kaleng yang berserak, suaranya melesat memburu

dinding malam mencari pintu-pintu, jendela-jendela

berornamen sedih.



'sebab di luar kesedihan, kematian membaptis diri di

pintu sorga' dan ketika hendak kau teruskan kalimatmu,

maka aku secepat menyergap, kuperingatkan kepadamu

sahabatku, jangan sesekali mengulang afrizal dan

borges dalam bentuk nyata, sebab virus mereka sudah

menanah dalam memori kita.



kamu tertawa, bersama lanskap malam yang tak kunjung

tenang.



kau ucapkan terima kasih dalam tiga bahasa asing.

setelah itu kau mulai lagi berkicau tentang

keterasingan, sebuah singgasana yang selalu lindap

jika hendak dijamah.



'keterasingan itu iblis. dan kepada malaikat

keputusasaan kita serahkan diri, juga puisi-puisi.'



lalu tiba-tiba engkau memandangku dengan getar tak

tentu. 'kita harus bercinta!' teriakmu persis di

mukaku dalam volume tajam.



aku terpana,'bukankah kita tidak akan melakukannya?'



'kita harus melakukannya, sebab biografi tubuhmu, aku

menginginkan, begitu menginginkan teks-teks atas

tubuhmu, erangan itu......erangan itu.....serupa puisi

yang ditutup-tutupi, disembunyikan oleh dalil-dalil

linear, dalam pangkat entah berapa, ketika seberkas

sinar dikendalikan dalam kecepatan sesungguhnya, maka

garis memutar yang dibutuhkan oleh tubuhmu untuk

menghasilkan sajak setimpal dengan rumus pitagoras

yang tidak menemukan sudut ketiganya.'



'tidak cukupkah keterasingan dan keputusasaan ini?'

tanyaku sambil mencopot ragu seluruh pakaianku, sebab

kulihat tubuhmu mulai telanjang.



'ada peta-peta di kelaminmu yang nantinya akan pulang

pada pinggangmu. peta yang membentuk negara-negara

belum merdeka bersama orang-orang yang juga belum

merdeka.'



dan ciumanmu.......



'kenapa kita harus berciuman?'



'sebab bibirmu penuh luka doa!'



ah.........



sebab lidahmu telah membasahi dadaku, maka napasku

seperti memburu sesuatu yang lenyap dan aku sedang

sangat. sangat membutuhkan.



lalu aku ingat sepuluh tahun silam, betapa masih

begitu muda dan merah tubuh kita. lalu kita curi

stensilan milik kakak perempuanmu dan kita baca di

pinggir parit, yang di sampingnya telah kita bangun

rumah-rumahan dari kardus dan ilalang. lalu kau

usulkan untuk membaca keras-keras stensilan itu,

seperti membaca puisi, katamu. dan setiap yang telah

kita selesaikan harus kita hanyutkan. sebab di hilir

sana pasti bidadari-bidadari kesepian turun dari

langit, mencari anak-anak semuda kita.



aku tertawa, dan tubuhku nyaris basah semua oleh

lidahmu.



aku ingat waktu itu, aku bertanya, mengapa

bidadari-bidadari itu tidak bercinta dengan malaikat

saja. tampan dan bersayap, bisa sama-sama bersetubuh

di atas mega-mega.



iya, bisa juga bercinta di atas pohon kelapa, asyik

bukan, bisa meliuk-liuk. dan kau tertawa ngakak.



usia awal belasan kita, kau sudah mulai bukan hanya

mengajakku membaca stensilan tapi juga mencuri uang

dan membeli bir botol kecil. 'ini parit kita, ini

rumah kita, dan bidadari-bidadari tergila-gila sama

kita, sebab kita muda dan bisa membaca puisi, bukan

hanya kitab suci.'



kenapa kita bisa sebandel ini? tanyaku waktu itu.

belum! teriakmu, sebab kita belum mencoba melompat

dari kereta yang sedang berjalan melintas di atas

sungai. haruskah seperti itu? memucat tanyaku. harus!

sebab puisi-puisi hanya indah ketika dibaca pada

perbatasan hidup dan mati, ketika tubuh kita melayang

dan tidak tahu, apakah lubuk sungai atau bebatuan yang

akan menerimanya. aku semakin pucat.



aku terhisap arus kebandelanmu, getarnya kurasa dan

hidup sampai kini.



hingga suatu saat perempuan pertamamu, menyatakan

cintanya padaku. engkau hanya meringis. biarlah aku

sama tante di stasiun saja, ucapmu tak terluka.



sipilismu pernah menguras tabunganku. engkau ngakak

lagi. sebab itulah kita dipertemukan cuaca.



tubuhku semakin basah, langit semakin basah.



salam



pea




- reading this writing make me wanna write and write again

0 Comments:

Post a Comment

<< Home