anggota milis bm yang baik......
lalu keheningan itu berlangsung lama, selama waktu
yang dibutuhkan surat cinta yang kita tanam dalam
botol dan kita lempar ke laut menuju semenanjung di
sebalik tiga pulau.
aku masih membuka kaleng-kaleng minuman itu, dan
hisapanmu atas rokok putih mulai menjamah bungkus
ketiga. ombak di kejauhan sana masih saling berusaha
melepas diri, menuju daratan entah mana......
lampu-lampu jalan mulai menyala, menyebar jala siluet
dalam nyeri pinggir jalan. dan gerimis tetap turun
dalam nada dasar c, cukup ritmis untuk menggamit
asap-asap menuju langit yang belum kunjung memadat.
sebuah lagu kau lantunkan.......
'jika pagar hitam itu tak pernah terbuka, maka dimana
hendak kurebahkan tubuhku dalam ketentraman yang
sempurna.....tubuhmu, tubuhmu, diraba malam,
digelayuti mimpi-mimpiku atasmu....'
kau ulang lagu itu dan kadangkala hanya berhenti pada
'tubuhmu,tubuhmu...'
sesekali dalam kesal yang pekat, kita tendangi
kaleng-kaleng yang berserak, suaranya melesat memburu
dinding malam mencari pintu-pintu, jendela-jendela
berornamen sedih.
'sebab di luar kesedihan, kematian membaptis diri di
pintu sorga' dan ketika hendak kau teruskan kalimatmu,
maka aku secepat menyergap, kuperingatkan kepadamu
sahabatku, jangan sesekali mengulang afrizal dan
borges dalam bentuk nyata, sebab virus mereka sudah
menanah dalam memori kita.
kamu tertawa, bersama lanskap malam yang tak kunjung
tenang.
kau ucapkan terima kasih dalam tiga bahasa asing.
setelah itu kau mulai lagi berkicau tentang
keterasingan, sebuah singgasana yang selalu lindap
jika hendak dijamah.
'keterasingan itu iblis. dan kepada malaikat
keputusasaan kita serahkan diri, juga puisi-puisi.'
lalu tiba-tiba engkau memandangku dengan getar tak
tentu. 'kita harus bercinta!' teriakmu persis di
mukaku dalam volume tajam.
aku terpana,'bukankah kita tidak akan melakukannya?'
'kita harus melakukannya, sebab biografi tubuhmu, aku
menginginkan, begitu menginginkan teks-teks atas
tubuhmu, erangan itu......erangan itu.....serupa puisi
yang ditutup-tutupi, disembunyikan oleh dalil-dalil
linear, dalam pangkat entah berapa, ketika seberkas
sinar dikendalikan dalam kecepatan sesungguhnya, maka
garis memutar yang dibutuhkan oleh tubuhmu untuk
menghasilkan sajak setimpal dengan rumus pitagoras
yang tidak menemukan sudut ketiganya.'
'tidak cukupkah keterasingan dan keputusasaan ini?'
tanyaku sambil mencopot ragu seluruh pakaianku, sebab
kulihat tubuhmu mulai telanjang.
'ada peta-peta di kelaminmu yang nantinya akan pulang
pada pinggangmu. peta yang membentuk negara-negara
belum merdeka bersama orang-orang yang juga belum
merdeka.'
dan ciumanmu.......
'kenapa kita harus berciuman?'
'sebab bibirmu penuh luka doa!'
ah.........
sebab lidahmu telah membasahi dadaku, maka napasku
seperti memburu sesuatu yang lenyap dan aku sedang
sangat. sangat membutuhkan.
lalu aku ingat sepuluh tahun silam, betapa masih
begitu muda dan merah tubuh kita. lalu kita curi
stensilan milik kakak perempuanmu dan kita baca di
pinggir parit, yang di sampingnya telah kita bangun
rumah-rumahan dari kardus dan ilalang. lalu kau
usulkan untuk membaca keras-keras stensilan itu,
seperti membaca puisi, katamu. dan setiap yang telah
kita selesaikan harus kita hanyutkan. sebab di hilir
sana pasti bidadari-bidadari kesepian turun dari
langit, mencari anak-anak semuda kita.
aku tertawa, dan tubuhku nyaris basah semua oleh
lidahmu.
aku ingat waktu itu, aku bertanya, mengapa
bidadari-bidadari itu tidak bercinta dengan malaikat
saja. tampan dan bersayap, bisa sama-sama bersetubuh
di atas mega-mega.
iya, bisa juga bercinta di atas pohon kelapa, asyik
bukan, bisa meliuk-liuk. dan kau tertawa ngakak.
usia awal belasan kita, kau sudah mulai bukan hanya
mengajakku membaca stensilan tapi juga mencuri uang
dan membeli bir botol kecil. 'ini parit kita, ini
rumah kita, dan bidadari-bidadari tergila-gila sama
kita, sebab kita muda dan bisa membaca puisi, bukan
hanya kitab suci.'
kenapa kita bisa sebandel ini? tanyaku waktu itu.
belum! teriakmu, sebab kita belum mencoba melompat
dari kereta yang sedang berjalan melintas di atas
sungai. haruskah seperti itu? memucat tanyaku. harus!
sebab puisi-puisi hanya indah ketika dibaca pada
perbatasan hidup dan mati, ketika tubuh kita melayang
dan tidak tahu, apakah lubuk sungai atau bebatuan yang
akan menerimanya. aku semakin pucat.
aku terhisap arus kebandelanmu, getarnya kurasa dan
hidup sampai kini.
hingga suatu saat perempuan pertamamu, menyatakan
cintanya padaku. engkau hanya meringis. biarlah aku
sama tante di stasiun saja, ucapmu tak terluka.
sipilismu pernah menguras tabunganku. engkau ngakak
lagi. sebab itulah kita dipertemukan cuaca.
tubuhku semakin basah, langit semakin basah.
salam
pea
- reading this writing make me wanna write and write again
0 Comments:
Post a Comment
<< Home