seeking greener grass

part of my history

Friday, November 30, 2001

it has been a hectic one and half week. i was back in bogor and went to jakarta every now and then. my mailbox was full and seems like i have been in a long holiday. i type a letter to a friend it goes like this:



apa kabarmu kawan? hari-harimu baikkah atau burukkah? sesungguhnya mereka nyaris sama, terkadang

aku menyadari itu, terkadang lagi aku lupa dan terlarut. saat ini aku hanya ingin membiarkan

jariku menari-nari membuat beberapa catatan. entah penting entah lenting aku tak tahu, aku hanya

ingin menulis sesuatu. untuk kau mengerti ataupun tidak.



aku sudah menjejakkan lagi tanah ini. pulau jawa kata mereka tapi bagiku tanah itu sama, tak bernama

dan tak berasal. bukankah kita juga dari tanah ini. tanah yang berwarna merah ini, begitu pekat begitu

lekat seperti bau darah. darah kita dan juga darah-darah mereka. semuanya merah. aku tak ingat sejak

kapan aku menjadi begitu menyukai warna merah...



aku rindu bunyi angin semilir yang mencumbu daun-daun pepohonan begitu rupa. ini sore hari, aku terbang

dengan burung-burung. kotaku ini tidak banyak berubah kawan, seruku dari secercah secerah potongan langit

sore ini. mungkin kau bertanya-tanya kemana diriku menghilang walau hanya baru seminggu-dua minggu. aku

sedang lepas kawan, entah melepas, dilepas atau terlepaskan. yang kutahu hanya aku lepas. tubuhku sejenak

ringan, walau kepalaku tiba-tiba menjadi berat.



beberapa hari terakhir badanku tak enak. terbatuk-batuk tanggung. kering. namun terkadang tenggorakanku

mengeluarkan cairan-cairan hijau. lengket dan tak berbau. seperti nanah setengah matang. mungkin aku sakit,

mungkin saja aku tahu kepalaku memang sakit. badanku kadang-kadang aku merasa tak begitu mengenalnya.



badanku sebenarnya seperti haus. lidahku seperti ingin menari-nari di antara mulut-mulut dan kerongkongan,

inikah birahi? tidak desahku, ini perayaan. lihat saja bekas-bekas pagutan itu yang sudah kutinggalkan. sejenak

aku melihat kedepan, ketika aku menoleh tak ada pagutan yang kulihat hanya luka. luka yang kubuat, yang akan dan

yang sudah. inikah goresan? tidak belaiku, ini percintaan. memang aku tidak lajang, tetapi jalang. itu jawabku

di setiap akhir persetubuhan.



kawan, aku masih ingin hilang...




hmm...dunno just feel like writing something like that. i went to ayu utami's - larung discussion, i went there with agung and met alfred there. it went allright i guess, though the context of the book compare with arundhati's roy book was rather irrelevant. the book larung was enjoyable in the first section, the second chapter kinda lost its grip.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home